Sabtu, 25 Juli 2009

Jilbab Lucu Bwt Ghe


Siang ini sangat panas banget, udara di daerah dago yang notabene sejuk, hari ini panas menyengat, aq yang kebagian menjemput ponakanku yang sekolah di SDN Merdeka gak kuat menahan terik matahari.

Dengan tekad yang bulat aku kendarai sepeda motorku dan meluncur ke sana....
panas-panas gini pake jilbab malahan enak..... adem banget.

Tiba di SDN MErdeka ponakanku ternyata dah keluar, hanya tasnya yang kutemui, ghe gak ada di kelas... kemana yah? aku tunggu.... kucoba telpon ghe dah ada di belakangku sambil bawa lumpia basah.

Aku dan ghe gak langsung pulang kebetulan aku pingin ngisi m2 ku yang dah kena batas akhir, kuputuskan untuk mengunjungi BEC. ghe gak keberatan setelah mengontak ibunya jadilah q'ta meluncur ke BEC.
Banyak hal yang menarik perhatianku di sana, hp dengan model terbaru, laptop yang makin canggih.

"mbak lihat...." ghe menunjuk seseorang,
cewek itu hanya memakai baju yang sangat minim, dress dengan ukuran sangat minim, ke atas gak nyampe ke bawah gak nyampe.... sejengkal dari pinggang, aku risi juga melihatnya. bahkan maaf CD nya pun kelihatan.

Aneh cara berpakaian sekarang koq aneh-aneh ya... sampai kekurangan bahan begitu ....
bagi yang pakai itu adalah mode/fashion tapi bagi qta yang lihat wah pusing.
anak sekecil ghe pun berkomentar aneh-aneh, gimana bisa nyaman berpakaian seperti itu setiap lelaki yang berpapasan menatapnya dengan nafsu. Seperti ingin menerkamnya.

Sepulang dari BEC ghe terus bertanya, baju cewek tadi bagus ya... aku malah ngeri bila ghe berpikiran seperti itu, aku ingin memberi pengertian bahwa wanita harus menutup auratnya bukan malah membukanya dan setiap orang berhak mencicipinya.
siang ini kuputuskan untuk mencari jilbab bwt ghe, biar ghe tahu pakaian mana yang pantas dan mana yang tidak, setelah memakai jilbabnya ghe bilang... mbak aku lebih cantik pake jilbab ya... daripada pake baju kyk cewek tadi...

Kamis, 16 Juli 2009

Bangga menjadi Ibu

Siang ini aku mengobrol dengan seorang teman, kesedihan nampak diwajahnya, duka membayang diantara kepingan kegusaran yang ia peruntukan untuk hidupnya. bagaimana tidak karir yang ia bangun dari nol, harus rela ia tinggalkan demi keluarga. Berusaha aku mengerti dan mendudukan persoalan dengan hati yang terbuka.

Masalah ini sangat besar baginya... bagaimana seorang yang telah memulai karirnya harus mau meninggalkan karirnya demi keluarga yang ia cintai. ini pilihan yang tidak mudah.

Tetesan air mata menetes di pipinya, saat kukatakan keluarga adalah hal terpenting bagi seorang ibu, mengurus keluarga adalah hal yang paling mulia, Betapa banyak orang yang menginginkan sebuah keluarga yang utuh, seorang suami yang pengertian dan dua anak yang demikian manis. mereka butuh dirimu...

Sudah 8 tahun semenjak menikah dia hidup terpisah, suami dan rafli anaknya tinggal di majalengka, dia dan vika putrinya tinggal di Bandung, sekarang suami memintanya untuk mendampinginya.... apanya yang salah? tentu yang mendengar kisah ini akan bilang pulanglah kembali kekeluargamu...

Kamu harus bangga menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik.
tapi pekerjaan dan rutinitas membuat ku berat untuk meninggalkannya. Apalah dayaku ini telah kupikirkan siang dan malam, ceritamu.

Akupun akan berpikir seperti itu tapi hati yang bulat akan membuat kamu mudah menjalaninya. Anak-anak membutuhkanmu, dia gak mau terpisah dari dua orang tuanya, betapa bangganya nanti anak-anakmu saat besar nanti, suapan tanganmu telah membesarkanmu, kasih sayangmu telah mendidikmu, kamu mendampinginya saat anak-anakmu tumbuh dan berkembang, subhanallah.

Anakmu akan bangga dan menyimpannya dihati mereka. Betapa ibunya menyayanginya, betapa ibunya memperhatikannya, beda bila kamu hanya berikan dia materi, anak akan memandang kamu sebagai mesin uang, secara materi mereka terpenuhi tapi kasih sayang apa yang mereka terima, mereka akan hampa dengan kasih sayang.

Saat aku baca sebuah artikel ini, kamu pasti sedikit terobati.

Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini
berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?

Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Artikel ini mudah-mudahan bisa menambah keyakinanmu untuk menyambut tugas dengan senyum dan penuh semangat.....