Kamis, 16 Juli 2009

Bangga menjadi Ibu

Siang ini aku mengobrol dengan seorang teman, kesedihan nampak diwajahnya, duka membayang diantara kepingan kegusaran yang ia peruntukan untuk hidupnya. bagaimana tidak karir yang ia bangun dari nol, harus rela ia tinggalkan demi keluarga. Berusaha aku mengerti dan mendudukan persoalan dengan hati yang terbuka.

Masalah ini sangat besar baginya... bagaimana seorang yang telah memulai karirnya harus mau meninggalkan karirnya demi keluarga yang ia cintai. ini pilihan yang tidak mudah.

Tetesan air mata menetes di pipinya, saat kukatakan keluarga adalah hal terpenting bagi seorang ibu, mengurus keluarga adalah hal yang paling mulia, Betapa banyak orang yang menginginkan sebuah keluarga yang utuh, seorang suami yang pengertian dan dua anak yang demikian manis. mereka butuh dirimu...

Sudah 8 tahun semenjak menikah dia hidup terpisah, suami dan rafli anaknya tinggal di majalengka, dia dan vika putrinya tinggal di Bandung, sekarang suami memintanya untuk mendampinginya.... apanya yang salah? tentu yang mendengar kisah ini akan bilang pulanglah kembali kekeluargamu...

Kamu harus bangga menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik.
tapi pekerjaan dan rutinitas membuat ku berat untuk meninggalkannya. Apalah dayaku ini telah kupikirkan siang dan malam, ceritamu.

Akupun akan berpikir seperti itu tapi hati yang bulat akan membuat kamu mudah menjalaninya. Anak-anak membutuhkanmu, dia gak mau terpisah dari dua orang tuanya, betapa bangganya nanti anak-anakmu saat besar nanti, suapan tanganmu telah membesarkanmu, kasih sayangmu telah mendidikmu, kamu mendampinginya saat anak-anakmu tumbuh dan berkembang, subhanallah.

Anakmu akan bangga dan menyimpannya dihati mereka. Betapa ibunya menyayanginya, betapa ibunya memperhatikannya, beda bila kamu hanya berikan dia materi, anak akan memandang kamu sebagai mesin uang, secara materi mereka terpenuhi tapi kasih sayang apa yang mereka terima, mereka akan hampa dengan kasih sayang.

Saat aku baca sebuah artikel ini, kamu pasti sedikit terobati.

Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini
berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?

Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Artikel ini mudah-mudahan bisa menambah keyakinanmu untuk menyambut tugas dengan senyum dan penuh semangat.....

Tidak ada komentar: